PANTAUNEWS – Ketua DPC PKB Karawang sekaligus Anggota DPRD Jawa Barat, Rahmat Hidayat Djati, menyampaikan apresiasinya atas penundaan eksekusi mati terhadap Susanti binti Mahfudz, pekerja migran asal Karawang yang semula dijadwalkan pada 9 April 2025 di Arab Saudi.
Kang Toleng sapaan Rahmat Hidayat Djati, menyebut penundaan ini memberi sedikit napas lega, namun menekankan bahwa waktu tambahan tersebut harus digunakan secara maksimal oleh pemerintah untuk melakukan langkah diplomatik yang lebih agresif dan terstruktur.
“Penundaan ini bukan pengampunan. Ini hanya memberi waktu. Maka pemerintah harus segera meningkatkan upaya diplomatik yang lebih agresif, terstruktur, dan penuh keberanian,” tegas kang Toleng, Sabtu 12 April 2025.
Ia menyoroti lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja migran Indonesia yang menghadapi ancaman hukuman mati. Dalam kasus Susanti, Rahmat mengungkap adanya berbagai kejanggalan, mulai dari usia Susanti yang masih remaja saat berangkat, keterbatasan bahasa, hingga kurangnya pendampingan hukum selama proses persidangan.
Kang Toleng juga menyoroti praktik diyat atau uang ganti rugi kepada keluarga korban yang nilainya melonjak hingga Rp 40 miliar, jauh melebihi standar syariat Islam yang setara dengan 100 ekor unta atau sekitar 400 ribu Riyal Saudi. Ia menyebut kenaikan nilai diyat ini sebagai dampak komersialisasi nyawa pekerja migran yang harus segera dihentikan.
“Ini bukan soal uang, ini soal martabat. Jika terus dibiarkan, kita seolah menyetujui tarifisasi nyawa pekerja migran,” katanya.
Kang Toleng turut menyesalkan ketimpangan dalam praktik diplomasi antarnegara. Ia membandingkan perlakuan terhadap warga negara asing yang terlibat kasus hukum berat di Indonesia, yang sering berhasil dipulangkan lewat lobi diplomatik negara asal mereka, sementara WNI justru harus mengandalkan donasi dan belas kasihan keluarga korban.
Sebagai solusi jangka panjang, Rahmat mendorong pemerintah Indonesia untuk merancang perjanjian bilateral dengan negara-negara penempatan pekerja migran, khususnya Arab Saudi, yang mencakup nota diplomatik wajib jika WNI terlibat kasus hukum berat.
“Negara tak boleh hanya hadir saat darurat. Harus ada sistem perlindungan permanen. Susanti bukan kasus terakhir, dan negara tak boleh mengulang kelalaian yang sama,” pungkas kang Toleng.
Reporter: Jauhari
Editor: Joe