Penundaan Eksekusi Susanti Harus Diiringi Diplomasi Tegas, Bukan Sekadar Menunggu Keajaiban

0

PANTAUNEWS – Ketua Umum Federasi Buminu Sarbumusi, Ali Nurdin, kembali mengeluarkan kritik tajam terhadap pemerintah Indonesia atas penanganan kasus Susanti binti Mahfudz, pekerja migran asal Karawang yang terancam hukuman mati di Arab Saudi.

Eksekusi yang semula dijadwalkan pada 9 April 2025 dikabarkan ditunda hingga Juni 2025, namun Ali mengingatkan bahwa penundaan ini bukanlah solusi, melainkan sekadar “tunda maut”.

“Penundaan eksekusi bukan berarti pengampunan. Pemerintah tak bisa duduk menunggu keajaiban. Harus ada diplomasi luar biasa yang lebih tegas, sistematis, dan melampaui retorika,” tegas Ali.

Ali juga menyoroti lemahnya jalur diplomasi Indonesia dalam menghadapi kasus ini. Menurutnya, jeda waktu yang ada harus digunakan secara maksimal untuk menyelesaikan pembayaran diyat dan memperkuat peran diplomasi hukum, bukan sekadar berharap belas kasih dari pihak keluarga korban.

Ali mengungkapkan bahwa banyak aspek dalam kasus Susanti yang tidak logis dan patut dipertanyakan. Susanti, yang saat itu berusia 16 tahun dan berasal dari latar belakang pendidikan rendah, dinilai tidak mungkin secara fisik mampu membunuh anak berusia 13 tahun di Arab Saudi. Apalagi, Susanti menghadapi proses hukum di negara asing yang bahasanya tidak ia kuasai dan di tengah tekanan psikologis berat.

“Orang dewasa saja bisa depresi menghadapi tekanan seperti itu. Apalagi remaja, di negara asing, tanpa pendamping hukum layak,” ujarnya.

Ia juga menuding adanya dugaan bahwa pengakuan Susanti saat penyidikan diperoleh melalui cara-cara yang menjebak dan mencederai keadilan.

Salah satu poin kritik Ali tertuju pada melonjaknya biaya diyat (ganti rugi dalam hukum qishash) yang dinilainya tidak masuk akal. Menurut Ali, dalam syariat Islam diyat setara 100 ekor unta, atau sejumlah 400 ribu riyal (atau sekira Rp1 miliar).

Namun dalam kasus Susanti, permintaan diyat sempat mencapai angka fantastis: Rp120 miliar, meskipun kini dikabarkan turun menjadi Rp40 miliar.

Ia menyalahkan kebijakan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membuka celah praktik “tarifisasi” nyawa WNI di luar negeri.

“Sejak pemerintah mulai rutin membayar diyat, ini berubah jadi bisnis. Ini harus dihentikan,” tegasnya.

Ali juga menyoroti ketidakadilan dalam praktik diplomatik global. Ia membandingkan nasib Susanti dengan beberapa warga negara asing (WNA) yang divonis mati di Indonesia namun akhirnya dipulangkan melalui jalur diplomatik negaranya.

“Kenapa WNA bisa pulang setelah vonis mati di Indonesia, tapi WNI hanya bisa galang donasi dan berharap belas kasih,” tanyanya.

Ia menekankan bahwa Konvensi ILO No. 97 dan 143, yang telah diratifikasi Indonesia, mewajibkan perlindungan hukum yang setara terhadap pekerja migran. Namun, hal ini belum diterjemahkan ke dalam tindakan nyata oleh pemerintah.

Sebagai solusi jangka panjang, Ali mendorong pemerintah segera menyusun perjanjian bilateral khusus dengan negara-negara penempatan pekerja migran, termasuk Arab Saudi. Perjanjian itu harus memuat Nota Diplomatik yang memastikan koordinasi resmi apabila WNI terjerat kasus hukum berat.

“Kita butuh sistem permanen, bukan respons darurat tiap ada yang terancam eksekusi. Tanpa nota diplomatik, pemerintah selalu telat tanggap dan rakyat selalu jadi korban,” ucapnya.

Menurut Ali, kasus Susanti mencerminkan kegagalan sistem di dua sisi: sistem hukum keras Arab Saudi dan sistem birokrasi abai Indonesia.

“Susanti adalah korban dari dua sistem. Maka negara harus bertanggung jawab penuh atas hidup matinya,” tegasnya.

Ali menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa konstitusi Indonesia mewajibkan negara untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia.

“Kalau negara tak bisa melindungi yang paling rentan, untuk apa kita punya negara? Ini bukan soal Susanti saja. Ini soal martabat manusia Indonesia di luar negeri,” pungkasnya.

Reporter: ***
Editor: Joe

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini